Assasin Creed Valhalla Menceritakan Kekelaman Inggris



Valhalla memang terlihat jauh lebih hambar dan kelam dibandingkan dengan seri Origin dan Odyssey sebelumnya. Salah satu alasan kuat datang dari kondisi Inggris di masa itu, yang memang miskin arsitektur yang sebegitu menawannya untuk dipuja-puji. Di Origins, Anda masih menemukan piramida dengan padang pasir berwarna terang yang menemani. Di Odyssey, Anda dibanjiri stimulus visual dengan patung-patung besar, kuil megah, dan kota berlapiskan batu-batu marmer di semua sudut. Hal-hal ini tidak akan Anda temukan di Valhalla. Sebagian besar wilayah yang Anda temui akan berakhir menjadi desa-desa kecil yang hidup mengandalkan sungai Thames untuk menyambung hidup, dengan lebih banyak ruang luang. Ada kontras yang mungkin akan membuat Anda sedikit butuh waktu untuk beradaptasi, apalagi jika Anda ikut menikmati Origin dan Odyssey.

Namun ada satu hal yang menurut kami berhasil dieksekusi Valhalla dengan baik – yakni memastikan bahwa tidak ada kompromi terkait bagaimana beragam elemen mempengaruhi gaya hidup masyarakat Saxon dan Danes di era tersebut. Salah satunya datang dari elemen agama yang dipresentasikan kental, terutama lewat cerita utama yang diusung. Anda bisa melihat bagaimana agama Kristen mempengaruhi beragam sektor kehidupan, termasuk politik, yang kemudian tercermin tidak hanya dialog saja, tetapi juga pondasi motivasi untuk aksi beberapa karakter dalam cerita. Di sisi lain, ada juga budaya Paganisme yang hidup berdampingan, melahirkan beragam ritual yang di era modern, sulit untuk dirasionalisasi. Walaupun kami sendiri tidak bisa memberikan kepastian soal akurasi sejarah yang ditawarkan Valhalla, namun komitmen seperti ini sudah terhitung melegakan dan pantas untuk diapresiasi.

Baca Juga : Assasin Creed Valhalla Cerita Sang Penjarah

Maka di tengah dunia yang memang terlihat kelam dan hambar ini, berdirilah karakter-karakter pendukung yang untungnya, bersinar begitu “cerah”. Bahkan bisa dibilang, bahwa salah satu kekuatan Valhalla justru tercermin dari karakter-karakter pendukung yang berhasil menancapkan perannya dengan maksimal untuk keseluruhan saga yang harus dilalui Eivor. Setiap dari mereka memiliki kepribadian yang jelas, konflik internal, motivasi yang menggerakkan aksi mereka terlepas dari apakah mereka berujung protagonis ataupun antagonis, serta desain yang tetap menyatu dengan realisme tetapi tetap menyiratkan keunikan tersendiri. Semuanya dibalut dengan kisah dan aksi yang juga tidak ragu untuk memperlihatkan kekerasan secara eksplisit, dari darah hingga proses multilasi. Jelas ada komitmen dari Ubisoft untuk berusaha mewakili suasana era yang seharusnya.

Audio Yang Kurang Pas Untuk Game Yang Keren

Sayangnya, ada hal yang tidak kami sukai dari cara Ubisoft menangani sisi audio Assassin’s Creed Valhalla. Kami sendiri tidak terlalu berkeberatan dengan voice acting yang setidaknya dari semua karakter yang sempat kami temui, dari sekadar NPC hingga mereka yang punya porsi cerita, datang dengan kapasitas yang cukup natural dan hidup. Keluhan utama justru datang dari cara mereka menangani nyanyi-nyanyian di atas kapal (Shanties) yang hadir mengecewakan. Alih-alih seperti AC IV: Black Flag dimana Shanties terasa dinyanyikan live, dari efek hingga kualitas dan membuatnya terasa imersif, Shanties di AC Valhalla kental dengan suasana studio. Bahwa Anda bisa mendengar dan merasakan bahwa ia direkam, terutama karena kehadiran alat musik terlepas dari fakta bahwa semua kru Anda tengah sibuk mendayung. Yang terjadi adalah situasi dimana Anda merasa tengah menikmati channel radio musik-musik Nordic alih-alih mendengar kru Anda tengah mengorbarkan semangat perang, atau semangat menjarah desa sekitar.

Maka dari sisi presentasi, Valhalla memang terasa berbeda dibandingkan Origins ataupun Odyssey. Setting yang ia usung memang mau tidak mau harus diwakili dengan dunia yang lebih hambar dan kelam, namun setidaknya, dieksekusi dengan penuh komitmen oleh Ubisoft. Keluhan utama justru datang dari sisi audio, terutama untuk sang Shanties, yang gagal menawarkan sensasi se-imersif AC IV:Black Flag. Namun setidaknya untuk urusan kekerasan, ia datang dengan konten se-eksplisit yang Anda butuhkan.